Keputusan pemerintah dan sejumlah anggota legislatif untuk menggelar rapat pembahasan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Hotel Fairmont menuai kecaman luas dari aktivis pro-demokrasi. Lokasi yang mewah dan tertutup itu dinilai tidak mencerminkan transparansi publik, terlebih revisi UU tersebut dianggap menyangkut masa depan demokrasi sipil, batas kewenangan militer, dan arah penegakan hukum di Indonesia.
Aktivis menyebut bahwa pembahasan undang-undang sepenting UU TNI seharusnya dilakukan di ruang resmi parlemen, terbuka untuk pemantauan publik dan media. Pemindahan lokasi ke hotel bintang lima menciptakan kesan elitisme dan pengabaian terhadap prinsip partisipasi masyarakat. Banyak yang menilai langkah itu sebagai upaya meredam kritik dan meminimalisasi pengawasan langsung dari publik.
Kecaman paling keras datang dari kelompok masyarakat sipil yang selama ini mengawasi sektor keamanan. Mereka menilai revisi UU TNI dapat memperluas peran militer dalam kehidupan sipil jika tidak diawasi dengan baik. Kekhawatiran terbesar adalah potensi kembalinya TNI ke ruang-ruang sipil yang seharusnya menjadi ranah institusi demokratis seperti kepolisian atau kementerian. Bagi mereka, pemilihan tempat yang tertutup seperti hotel justru memperkuat kecurigaan bahwa ada agenda yang hendak diselesaikan jauh dari sorotan publik.
Selain persoalan lokasi, aktivis juga menyoroti proses revisi yang dinilai terburu-buru. Banyak pasal krusial yang disebut belum melalui konsultasi publik yang memadai. Padahal, revisi UU TNI berpotensi mengubah arsitektur keamanan nasional dalam jangka panjang. Beberapa organisasi pro-demokrasi bahkan menyebut bahwa pembahasan ini “tidak memiliki urgensi mendesak” dan justru berisiko membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan jika dilakukan tanpa kajian akademik dan diskusi publik yang komprehensif.
Di tengah kritik yang kian meluas, pihak legislatif yang terlibat dalam rapat beralasan bahwa penggunaan hotel dipilih demi efisiensi dan kenyamanan koordinasi. Namun, jawaban tersebut tidak meredam kemarahan publik. Banyak yang menilai alasan tersebut tidak masuk akal, mengingat gedung DPR telah difasilitasi secara khusus untuk pembahasan regulasi. Keputusan tersebut pun semakin memicu spekulasi mengenai adanya agenda tertentu yang ingin diselesaikan dalam suasana tertutup.
Sementara itu, tajuk pembicaraan di ruang publik berkembang pesat, terutama di media sosial. Tagar yang mengecam rapat tertutup tersebut banyak bermunculan sebagai bentuk protes terhadap kurangnya akuntabilitas pemerintah. Warga menekankan bahwa pembahasan undang-undang, terutama yang bersentuhan dengan kekuatan militer, harus melibatkan publik secara maksimal demi menjaga keseimbangan kekuasaan dalam negara demokratis.
Sejumlah analis politik memperingatkan bahwa polemik ini bukan sekadar masalah lokasi rapat, tetapi simbol dari menurunnya kualitas transparansi pemerintahan. Mereka menilai bahwa demokrasi Indonesia sedang diuji: apakah pemangku kebijakan bersedia menyediakan ruang partisipasi publik, atau justru semakin menutup proses legislasi dari sorotan warga.
Kemarahan aktivis pro-demokrasi yang terus meluas mencerminkan bahwa kepercayaan publik terhadap proses legislasi sedang berada pada titik kritis. Dalam negara demokratis, pembahasan undang-undang bukan hanya mengenai isi materi, tetapi juga cara proses itu dijalankan. Rapat tertutup di hotel mewah justru memberikan pesan keliru bahwa pengambilan keputusan politik penting dapat dilakukan tanpa keterlibatan rakyat.
Dengan meningkatnya tekanan publik, pemerintah dan legislatif kini berada dalam sorotan tajam. Masyarakat menuntut proses yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel—sebuah prinsip dasar yang menjadi fondasi demokrasi. Polemik ini pun masih jauh dari selesai, dan masa depan revisi UU TNI akan sangat ditentukan oleh seberapa besar pemerintah berani mengembalikan prosesnya ke jalur yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.






