Warisan Budaya: Mahkota Identitas atau Komoditas Politik?
Politik kebudayaan bukanlah sekadar kebijakan tentang seni atau tradisi, melainkan sebuah arena di mana identitas, nilai, dan makna sebuah masyarakat dinegosiasikan dan bahkan diperebutkan. Dalam konteks ini, warisan budaya, dari tarian tradisional hingga situs bersejarah, kerap kali bertransformasi dari simbol otentik menjadi komoditas politik.
Penggunaan warisan budaya sebagai komoditas politik memiliki beragam motif. Secara internal, ia dapat digunakan untuk memperkuat narasi identitas nasional, mempersatukan masyarakat di bawah satu panji kebanggaan. Secara eksternal, warisan budaya menjadi "soft power" dalam diplomasi internasional, menarik wisatawan, dan menghasilkan devisa. Klaim atas warisan tertentu bisa menjadi alat legitimasi historis atau bahkan sengketa antarnegara.
Namun, di balik potensi positif ini, tersimpan dilema besar. Ketika warisan budaya dikomodifikasi, esensi dan makna otentiknya seringkali tergerus. Ia direduksi menjadi atraksi, simbol kosong, atau alat tawar-menawar politik. Komersialisasi berlebihan dapat menghilangkan kedalaman spiritual dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, bahkan mengesampingkan komunitas adat sebagai penjaga asli warisan tersebut. Warisan yang seharusnya menjadi jembatan antar generasi, kini berisiko menjadi objek eksploitasi demi kepentingan sesaat.
Maka, tantangan utamanya adalah menemukan keseimbangan. Warisan budaya seharusnya menjadi mahkota identitas yang dijaga dan dilestarikan dengan integritas, bukan sekadar alat dalam permainan politik. Pemberdayaan komunitas adat sebagai penjaga utama, serta penekanan pada edukasi dan apresiasi mendalam, adalah kunci agar warisan budaya tetap hidup dengan makna sejati, melampaui kepentingan sesaat.








