Politik & Urbanisasi: Di Balik Gemerlap Kota, Siapa Sebenarnya Meraup Untung?
Urbanisasi adalah fenomena global yang tak terhindarkan. Kota-kota tumbuh menjadi magnet raksasa, menjanjikan peluang ekonomi, pendidikan, dan kehidupan yang lebih baik. Namun, di balik gemerlap pembangunan dan hiruk pikuk modernitas, muncul pertanyaan krusial: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari gelombang urbanisasi ini?
Janji vs. Realitas Keuntungan
Secara ideal, urbanisasi seharusnya menjadi motor pemerataan kesejahteraan. Lebih banyak lapangan kerja, akses layanan publik yang memadai, dan inovasi yang lahir dari konsentrasi manusia. Namun, realitas seringkali jauh berbeda. Alih-alih merata, keuntungan urbanisasi cenderung terkonsentrasi pada kelompok tertentu, menciptakan jurang kesenjangan yang makin dalam.
Para Pemain Kunci dan Keuntungannya
-
Pengembang Properti dan Korporasi Besar: Mereka adalah pemenang jelas. Lonjakan populasi di perkotaan memicu permintaan tinggi akan perumahan, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan infrastruktur pendukung. Dengan modal besar dan seringkali koneksi politik, mereka memonopoli lahan strategis, membangun proyek-proyek prestisius, dan meraup keuntungan fantastis dari kenaikan nilai properti.
-
Elite Politik dan Birokrat Tertentu: Urbanisasi adalah ladang subur bagi kekuasaan. Proyek-proyek infrastruktur berskala besar, perizinan pembangunan, hingga zonasi tata kota, semuanya melibatkan keputusan politik. Ini membuka celah bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keputusan politik yang bias dapat menguntungkan kroni atau kelompok kepentingan tertentu, seringkali dengan mengorbankan ruang publik atau hak-hak masyarakat kecil.
-
Pekerja Terampil dan Kelas Menengah Atas: Sebagian dari kelompok ini juga merasakan manisnya urbanisasi. Mereka mendapatkan akses ke pekerjaan bergaji lebih tinggi, fasilitas pendidikan dan kesehatan terbaik, serta gaya hidup modern. Namun, kelompok ini seringkali menjadi minoritas di tengah lautan pendatang baru.
Siapa yang Terpinggirkan?
Di sisi lain, mayoritas masyarakat miskin kota dan pekerja migran seringkali menjadi pihak yang paling rentan. Mereka datang dengan harapan, namun kerap terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan: tinggal di permukiman kumuh, bekerja di sektor informal dengan upah rendah, dan minim akses terhadap layanan dasar yang layak. Harga tanah yang melambung tinggi membuat mereka tidak mampu memiliki tempat tinggal layak, bahkan terancam penggusuran demi proyek-proyek pembangunan.
Peran Politik yang Krusial
Ini menunjukkan bahwa urbanisasi bukanlah sekadar proses demografis atau ekonomi, melainkan fenomena yang sangat politis. Kebijakan tata ruang, regulasi properti, investasi infrastruktur, hingga perlindungan hak-hak warga, semuanya ditentukan oleh keputusan politik. Tanpa tata kelola yang baik, transparansi, dan partisipasi publik yang kuat, urbanisasi akan terus menjadi mesin pencetak kekayaan bagi segelintir orang, sambil menelantarkan mayoritas.
Pada akhirnya, urbanisasi adalah pedang bermata dua. Potensinya untuk kemajuan sangat besar, namun tanpa politik yang berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan, kota-kota kita akan tumbuh menjadi simbol kesenjangan yang mencolok, di mana hanya segelintir pihak yang benar-benar meraup untung.








