Jejak Keadilan di Dua Dunia: Mengintip Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Negara Lain
Sistem peradilan pidana adalah tulang punggung penegakan hukum di setiap negara, namun arsitekturnya bisa sangat bervariasi. Memahami perbedaan ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga menyoroti filosofi keadilan yang berbeda di berbagai belahan dunia. Indonesia, dengan akar hukumnya yang kuat, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari sistem di negara-negara lain, khususnya yang menganut tradisi hukum berbeda.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Inkuisitorial dengan Sentuhan Lokal
Indonesia menganut sistem hukum Civil Law (Hukum Kontinental), yang berakar pada tradisi Eropa kontinental (seperti Belanda, Prancis, Jerman). Dalam konteks peradilan pidana, ini berarti Indonesia cenderung menganut sistem inkuisitorial. Ciri utamanya adalah:
- Peran Hakim Aktif: Hakim tidak hanya sebagai "wasit," tetapi aktif mencari kebenaran materiil. Mereka bisa bertanya langsung kepada saksi atau terdakwa, bahkan meminta bukti tambahan.
- Penyidikan dan Penuntutan Dominan: Proses penyidikan oleh kepolisian dan penuntutan oleh jaksa sangat krusial. Berkas perkara yang disusun jaksa menjadi dasar kuat bagi persidangan.
- Tidak Ada Juri: Keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa sepenuhnya di tangan majelis hakim.
- Fokus pada Dokumen: Proses seringkali berpusat pada berkas dan bukti tertulis, meskipun kesaksian lisan juga penting.
Perbandingan Kontras: Sistem Adversarial dan Lainnya
Banyak negara lain, terutama yang menganut tradisi Common Law (Hukum Anglo-Saxon) seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, atau Kanada, menganut sistem adversarial. Sementara itu, negara-negara Eropa kontinental lain memiliki variasi sistem inkuisitorial mereka sendiri.
Berikut poin-poin perbedaannya:
-
Filosofi dan Peran Hakim:
- Inkuisitorial (Indonesia, Jerman, Prancis): Tujuan utama adalah mencari kebenaran materiil. Hakim sangat aktif, memimpin persidangan, dan seringkali terlibat dalam proses pengumpulan bukti.
- Adversarial (AS, Inggris): Tujuan adalah mencari kebenaran prosedural melalui "pertarungan" antara dua pihak (penuntut dan pembela). Hakim bertindak sebagai "wasit" yang memastikan aturan main ditaati, sementara pengacara memiliki peran sentral dalam presentasi kasus.
-
Keberadaan Juri:
- Indonesia & Sistem Inkuisitorial Lain: Tidak ada sistem juri. Keputusan sepenuhnya di tangan hakim profesional.
- Sistem Adversarial: Umumnya melibatkan juri (dewan juri) yang terdiri dari warga sipil. Juri bertugas memutuskan fakta dan apakah terdakwa bersalah, sementara hakim menentukan hukuman.
-
Peran Penuntut dan Pembela:
- Indonesia: Jaksa memiliki kekuasaan besar dalam menentukan arah kasus dan mengajukan tuntutan. Pengacara pembela berperan membantah dakwaan jaksa.
- Sistem Adversarial: Peran jaksa penuntut dan pengacara pembela sangat seimbang dan agresif. Mereka bertarung dengan argumen, bukti, dan saksi di depan juri. Proses negosiasi hukuman (plea bargaining) juga sangat umum di sini.
-
Fokus Persidangan:
- Indonesia: Lebih menekankan pada kelengkapan berkas perkara dan bukti tertulis yang disusun oleh penyidik dan jaksa.
- Sistem Adversarial: Sangat mengandalkan kesaksian lisan, pemeriksaan silang (cross-examination) saksi, dan retorika para pengacara di ruang sidang.
Kesamaan Universal dan Tantangan
Meskipun berbeda dalam struktur dan filosofi, semua sistem peradilan pidana memiliki tujuan universal: menegakkan hukum, melindungi masyarakat, menjamin hak-hak terdakwa (seperti asas praduga tak bersalah dan hak untuk didampingi pengacara), dan mencapai keadilan. Tantangan seperti korupsi, birokrasi, penumpukan perkara, dan perlindungan hak asasi manusia juga menjadi isu global yang terus diupayakan perbaikannya di berbagai negara.
Pada akhirnya, tidak ada satu sistem yang "paling baik" secara absolut. Setiap sistem adalah refleksi dari sejarah, budaya, dan nilai-nilai masyarakatnya, terus beradaptasi untuk menjawab tantangan zaman demi tercapainya keadilan bagi semua.






