Ketika Kekerasan Menjadi Normal: Jejak Budaya dalam Kriminalitas Remaja
Budaya kekerasan bukanlah sekadar tindakan fisik, melainkan pola pikir dan perilaku yang terinternalisasi dalam masyarakat, di mana kekerasan dianggap sebagai solusi, hiburan, atau bahkan lambang kekuatan. Fenomena ini memiliki dampak serius, khususnya terhadap pembentukan karakter dan perilaku kriminal remaja.
Remaja, sebagai kelompok rentan dan imitator ulung, sangat mudah menyerap nilai-nilai dari lingkungan sekitarnya. Paparan kekerasan dapat berasal dari berbagai sumber: media massa (film, game, berita), dinamika keluarga (KDRT), lingkungan pergaulan, hingga retorika publik yang membenarkan agresi. Paparan berulang menciptakan desensitisasi, membuat mereka kurang peka terhadap penderitaan orang lain dan menganggap kekerasan sebagai hal biasa. Mereka juga cenderung meniru (modeling) perilaku agresif yang dilihat, menjadikannya model penyelesaian masalah. Normalisasi ini kemudian menghilangkan batas moral, memudahkan transisi dari agresi verbal menjadi fisik, bahkan tindakan kriminal.
Akibatnya, kita sering melihat remaja terlibat dalam tawuran, perundungan (bullying), vandalisme, hingga kejahatan yang lebih serius seperti pencurian dengan kekerasan atau pengeroyokan. Kurangnya empati dan pemahaman konsekuensi jangka panjang menjadi ciri khas perilaku ini, didorong oleh persepsi bahwa kekerasan adalah jalan pintas menuju pengakuan atau dominasi.
Budaya kekerasan adalah bom waktu yang mengancam masa depan generasi muda. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk memutus rantai ini melalui edukasi, pengawasan konten, penguatan nilai-nilai positif, dan penciptaan lingkungan yang aman dan suportif bagi remaja. Hanya dengan demikian kita dapat membimbing mereka menuju perilaku yang konstruktif, bukan destruktif.






