Tanah, Nyawa, dan Perlawanan: Suara Petani di Tengah Badai Konflik Agraria
Konflik agraria adalah luka menganga di banyak wilayah, sebuah pertarungan sengit memperebutkan satu hal: tanah. Bagi petani, tanah bukan sekadar komoditas; ia adalah sumber kehidupan, identitas, warisan leluhur, dan fondasi kedaulatan pangan. Namun, hak atas tanah ini kerap digerus oleh gelombang investasi skala besar, pembangunan infrastruktur, dan tumpang tindih klaim yang berpihak pada korporasi atau kepentingan modal.
Perselisihan ini seringkali bermula dari izin konsesi perkebunan, pertambangan, atau properti yang diterbitkan di atas lahan yang telah lama digarap atau dihuni masyarakat adat dan petani. Akibatnya, mereka menghadapi ancaman penggusuran, intimidasi, bahkan kriminalisasi saat berupaya mempertahankan hak-haknya. Proses hukum yang panjang dan seringkali tak adil menambah beban penderitaan mereka.
Meski demikian, petani bukanlah korban pasif. Mereka adalah pejuang gigih yang berpegang teguh pada prinsip keadilan. Dengan segala keterbatasan, mereka mengorganisir diri: melakukan aksi damai, mendirikan tenda perjuangan di lokasi sengketa, menggalang solidaritas nasional dan internasional, hingga menempuh jalur hukum dan advokasi. Perjuangan mereka adalah cerminan perlawanan terhadap ketidakadilan struktural dan upaya merebut kembali hak atas tanah yang telah dirampas.
Mengakhiri konflik agraria dan memastikan keadilan bagi petani adalah prasyarat penting bagi pembangunan berkelanjutan. Ini menuntut reforma agraria sejati yang mengakui hak ulayat dan kepemilikan rakyat atas tanah, penegakan hukum yang berpihak pada keadilan, serta perlindungan negara terhadap para pejuang agraria. Sebab, di setiap jengkal tanah yang dipertahankan, terkandung harapan akan masa depan yang lebih adil dan bermartabat bagi seluruh rakyat.




