Gerbang Politik Kita: Antara Elitisme dan Kualitas Semu
Sistem rekrutmen partai politik, yang seharusnya menjadi filter utama untuk menghasilkan pemimpin berkualitas, seringkali justru menjadi biang keladi mandeknya kemajuan demokrasi kita. Alih-alih menyaring talenta terbaik, gerbang partai kerap terbuka lebar bagi mereka yang "tepat", bukan "terbaik".
Salah satu penyakit utamanya adalah elitisme dan oligarki. Rekrutmen seringkali lebih didasarkan pada kedekatan personal, ikatan kekerabatan (dinasti politik), atau kekuatan finansial, ketimbang rekam jejak, kompetensi, atau visi. Uang menjadi tiket utama, bukan integritas.
Fokus bergeser dari kompetensi dan visi menjadi sekadar elektabilitas instan. Bakal calon lebih dinilai dari popularitasnya di media sosial atau kemampuannya menggaet massa, bukan pada pemahaman mendalam tentang isu publik atau kemampuan merumuskan kebijakan. Akibatnya, banyak "politisi dadakan" yang minim kapasitas namun jago kampanye.
Proses kaderisasi yang lemah dan formalitas semata memperparah keadaan. Pendidikan politik yang seharusnya membentuk karakter dan ideologi seringkali hanya menjadi rutinitas tanpa makna, gagal mencetak kader yang loyal pada prinsip, bukan hanya pada figur.
Dampak dari sistem rekrutmen yang cacat ini fatal: kita berakhir dengan parlemen dan eksekutif yang kurang mumpuni, rawan korupsi, dan lebih berorientasi pada kepentingan sempit daripada kepentingan rakyat banyak. Kepercayaan publik terkikis, dan agenda pembangunan tersandera.
Untuk memulihkan kepercayaan publik dan menguatkan fondasi demokrasi, partai politik harus berani melakukan reformasi total: kembali pada prinsip meritokrasi, transparansi, dan integritas. Bukan hanya mencari pemenang pemilu, tapi juga mencari pemimpin sejati.








