Analisis Psikologis Pelaku Kejahatan Berbasis Kekerasan dalam Hubungan Keluarga

Di Balik Tangan Kekerasan: Menyingkap Psikologi Pelaku dalam Hubungan Keluarga

Kekerasan dalam hubungan keluarga adalah fenomena kompleks yang merobek fondasi keamanan dan kepercayaan. Seringkali perhatian terfokus pada korban, namun untuk memahami dan menghentikan siklus ini, kita perlu menyelami sisi yang kerap terabaikan: psikologi pelakunya. Pelaku kekerasan bukanlah sekadar individu yang "marah sesaat," melainkan pribadi dengan lapisan psikologis yang rumit.

Analisis menunjukkan bahwa akar kekerasan seringkali tertanam dalam pengalaman masa lalu pelaku. Banyak di antaranya adalah korban atau saksi kekerasan di masa kanak-kanak, yang kemudian menginternalisasi perilaku tersebut sebagai pola interaksi yang "normal" atau bahkan satu-satunya cara untuk mengatasi konflik dan ketidaknyamanan. Trauma yang tidak tertangani dapat menjelma menjadi kemarahan, frustrasi, dan kebutuhan akan kontrol.

Selain itu, distorsi kognitif berperan besar. Pelaku sering memiliki pola pikir yang menyalahkan korban, merasionalisasi tindakan kekerasan mereka ("dia pantas mendapatkannya," "saya diprovokasi"), atau meminimalkan dampak perbuatan mereka. Mereka mungkin memiliki empati yang rendah atau selektif, serta ketidakmampuan mengelola emosi negatif seperti stres, cemburu, atau rasa tidak aman dengan cara yang sehat.

Lebih jauh, masalah kontrol dan harga diri sering menjadi pendorong. Kekerasan bisa menjadi upaya putus asa untuk menegaskan dominasi dan kontrol atas orang lain, terutama ketika pelaku merasa tidak berdaya atau tidak mampu di area lain dalam hidupnya. Paradoksnya, di balik agresi seringkali tersembunyi rasa rendah diri yang mendalam, yang diproyeksikan keluar dalam bentuk kekerasan untuk merasa berkuasa sesaat.

Memahami psikologi pelaku kekerasan dalam hubungan keluarga bukanlah untuk membenarkan tindakan mereka, melainkan untuk membuka jalan bagi intervensi yang efektif. Pendekatan yang berfokus pada terapi trauma, pengembangan keterampilan manajemen emosi, restrukturisasi kognitif, dan edukasi tentang hubungan yang sehat adalah krusial. Hanya dengan memahami akar masalah, kita dapat berharap untuk memutus rantai penderitaan dan menciptakan lingkungan keluarga yang aman dan suportif bagi semua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *