Budaya dan Belenggu Kriminalitas: Memahami Akar Perilaku Menyimpang
Perilaku kriminal adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari psikologis, ekonomi, hingga sosial. Namun, satu dimensi yang sering terabaikan, padahal sangat fundamental, adalah faktor kultural. Budaya, sebagai cetakan tak terlihat yang membentuk cara pandang, nilai, dan norma dalam masyarakat, memiliki peran krusial dalam memengaruhi kecenderungan seseorang terlibat dalam tindakan kriminal.
1. Norma dan Nilai Sosial:
Setiap masyarakat memiliki seperangkat norma dan nilai yang mengatur perilaku anggotanya. Norma adalah aturan tak tertulis tentang apa yang diterima atau tidak, sementara nilai adalah keyakinan mendasar tentang apa yang baik atau buruk. Ketika norma dan nilai yang kuat mengedepankan kejujuran, kerja keras, dan kepatuhan hukum, tingkat kriminalitas cenderung rendah. Sebaliknya, jika terjadi pergeseran nilai menuju materialisme berlebihan, toleransi terhadap kekerasan, atau pembenaran atas cara-cara instan, maka ambang batas toleransi terhadap perilaku menyimpang dapat menurun, membuka celah bagi tindakan kriminal.
2. Proses Sosialisasi:
Budaya diturunkan melalui proses sosialisasi, di mana individu belajar dan menginternalisasi nilai serta norma dari keluarga, lingkungan, sekolah, dan media. Apabila lingkungan sosialisasi terpapar pada pola pikir yang merasionalisasi kejahatan (misalnya, kekerasan sebagai solusi, penipuan sebagai kecerdikan, atau glorifikasi kelompok kriminal), maka individu yang tumbuh di dalamnya berisiko lebih tinggi untuk mengadopsi perilaku tersebut sebagai hal yang normal atau bahkan dapat diterima.
3. Subkultur Menyimpang:
Dalam masyarakat yang lebih besar, bisa terbentuk subkultur-subkultur dengan norma dan nilai yang berbeda, bahkan bertentangan dengan budaya dominan. Kelompok geng, organisasi kriminal, atau komunitas yang mengalami disintegrasi sosial dan ekonomi seringkali mengembangkan "aturan main" mereka sendiri. Dalam subkultur ini, tindakan yang dianggap kriminal oleh masyarakat umum bisa jadi dipandang sebagai simbol kekuatan, loyalitas, atau cara bertahan hidup, sehingga mendorong anggotanya untuk terlibat dalam kejahatan.
4. Stigma dan Labeling:
Aspek kultural juga tercermin dalam bagaimana masyarakat melabeli dan menanggapi individu yang melakukan kesalahan. Budaya yang cenderung menghukum, mengucilkan, atau memberikan stigma permanen tanpa ruang rehabilitasi, justru dapat mendorong individu yang pernah bersalah untuk kembali ke jalur kriminal karena merasa tidak ada tempat lain. Sebaliknya, budaya yang menekankan restorative justice dan reintegrasi dapat mengurangi residivisme.
Memahami dimensi kultural ini krusial dalam merancang strategi pencegahan dan penanganan kriminalitas. Bukan hanya tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang pembentukan kembali norma dan nilai yang konstruktif, penguatan proses sosialisasi yang positif, serta penanganan subkultur menyimpang dengan pendekatan yang holistik dan komprehensif.






