Trauma Berantai: Ketika Keluarga Turut Menanggung Luka Korban Kekerasan
Kejahatan kekerasan meninggalkan luka mendalam pada korbannya. Namun, dampak psikologisnya seringkali tak berhenti pada individu yang diserang, melainkan merambat pada seluruh anggota keluarga, menciptakan "trauma sekunder" yang sering terabaikan.
Keluarga inti, terutama pasangan dan anak, dapat mengalami gejala kecemasan berlebihan, ketakutan yang menetap, depresi, gangguan tidur, bahkan gejala stres pasca-trauma (PTSD) sendiri. Rasa bersalah, marah, dan ketidakberdayaan sering menyertai, memperburuk beban emosional. Mereka mungkin merasa dunia tidak lagi aman, atau menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa melindungi.
Dinamika keluarga pun ikut terganggu. Komunikasi bisa memburuk, dengan anggota keluarga yang kesulitan mengungkapkan perasaan atau sebaliknya menjadi terlalu protektif. Peran dan tanggung jawab bisa bergeser, menambah tekanan. Suasana rumah mungkin diselimuti ketegangan dan kesedihan, membuat proses penyembuhan menjadi lebih kompleks bagi semua.
Memahami bahwa keluarga adalah pilar penting dalam pemulihan korban adalah krusial. Dukungan psikologis tidak hanya dibutuhkan oleh korban langsung, tetapi juga seluruh anggota keluarga yang terdampak. Dengan dukungan yang tepat, lingkaran trauma dapat diputus, membuka jalan bagi pemulihan bersama menuju kehidupan yang lebih stabil dan damai.






