Mengapa Politik Identitas Tak Pernah Usang di Arena Pemilu?
Dalam setiap gelaran pemilu, terlepas dari narasi progresif atau janji-janji masa depan, satu elemen seringkali kembali mendominasi: politik identitas. Mengapa strategi yang mengedepankan suku, agama, ras, atau golongan ini begitu ampuh dan tak lekang oleh waktu?
Pertama, ia bekerja pada level emosional yang mendalam. Manusia secara inheren mencari rasa memiliki dan afiliasi. Ketika seorang kandidat atau partai mampu menyentuh ikatan primordial ini, mereka tidak hanya mendapatkan suara, tetapi juga loyalitas yang kuat, bahkan fanatisme. Ini bukan tentang program kerja, melainkan "siapa kami" dan "siapa mereka".
Kedua, politik identitas menyederhanakan kompleksitas isu. Alih-alih berdebat tentang ekonomi makro atau kebijakan luar negeri yang rumit, narasi politik identitas menawarkan dikotomi yang jelas: baik vs. buruk, kami vs. lawan. Ini memudahkan mobilisasi massa dan membentuk blok suara yang solid, karena pesan yang disampaikan sangat langsung dan mudah dicerna.
Terakhir, politik identitas efektif karena ia mengeksploitasi celah dan ketakutan yang sudah ada di masyarakat. Perbedaan yang ada diubah menjadi alat polarisasi, menciptakan "musuh bersama" yang harus dihadapi. Ancaman terhadap identitas kelompok—nyata atau rekaan—menjadi pemicu kuat untuk bertindak dan memilih.
Singkatnya, politik identitas tetap menjadi senjata utama karena kemampuannya menyentuh emosi dasar manusia, menyederhanakan pilihan politik, dan mengeksploitasi perpecahan yang ada. Ia menjanjikan rasa aman dan pengakuan bagi kelompok tertentu, sebuah janji yang seringkali lebih menarik daripada janji-janji rasionalitas pembangunan.








