Politik Pendidikan: Kontestasi Kurikulum dan Ideologi

Kurikulum: Lebih dari Buku, Sebuah Arena Pertarungan Ideologi

Pendidikan seringkali dianggap sebagai ruang netral, tempat ilmu pengetahuan ditransfer tanpa bias. Namun, di balik dinding kelas dan lembaran buku teks, tersembunyi arena politik yang kompleks: politik pendidikan. Inti dari kontestasi ini seringkali berpusat pada kurikulum, bukan sekadar daftar mata pelajaran, melainkan medan pertarungan di mana berbagai ideologi saling memperebutkan dominasi.

Kurikulum adalah cetak biru tentang apa yang dianggap "penting" untuk dipelajari, "benar" untuk diyakini, dan "berharga" untuk dikuasai oleh generasi mendatang. Oleh karena itu, siapa yang berhak merumuskan kurikulum berarti berhak membentuk cara berpikir, nilai-nilai, dan identitas sosial sebuah bangsa. Berbagai aktor — pemerintah, kelompok agama, pelaku ekonomi, hingga organisasi masyarakat sipil — memiliki visi berbeda tentang tujuan pendidikan dan jenis warga negara yang ingin dihasilkan. Masing-masing membawa ideologi mereka sendiri.

Setiap kurikulum, secara eksplisit atau implisit, memuat pandangan dunia tertentu. Apakah kurikulum menekankan nasionalisme yang kuat, liberalisme ekonomi, keadilan sosial, konservatisme agama, atau keterampilan teknis? Pilihan ini mencerminkan ideologi yang ingin ditanamkan atau dipertahankan. Misalnya, kurikulum yang berfokus pada pengembangan individu dan pasar bebas mungkin mencerminkan ideologi kapitalisme dan liberalisme, sementara yang menekankan sejarah perjuangan bangsa bisa jadi mengusung nasionalisme. Kontestasi muncul karena setiap kelompok ingin ideologinya menjadi fondasi pembentukan karakter dan pemikiran peserta didik.

Dampaknya sangat signifikan. Kurikulum yang berpihak pada satu ideologi dapat mengabaikan, menyingkirkan, atau bahkan menindas pandangan lain, yang berpotensi menciptakan homogenisasi pemikiran atau memicu resistensi dari kelompok yang merasa tidak terwakili. Ini adalah perebutan narasi: siapa yang berhak menceritakan kisah bangsa, mendefinisikan "kebenaran," dan merancang jalan menuju masa depan.

Maka, memahami kurikulum bukan hanya tentang apa yang diajarkan, tetapi mengapa itu diajarkan, oleh siapa, dan untuk tujuan ideologis apa. Ruang kelas bukanlah ruang hampa nilai, melainkan arena dinamis di mana masa depan sebuah bangsa sedang dirancang dan dipertarungkan melalui pilihan-pilihan kurikulum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *