Faktor Sosial Budaya yang Mendorong Terjadinya Kekerasan Seksual di Sekolah

"Sekolahku, Tempat Aman?" Menguak Akar Sosial Budaya Kekerasan Seksual

Sekolah seharusnya menjadi benteng keamanan dan tempat tumbuh kembang bagi setiap anak. Namun, ironisnya, ia seringkali menjadi arena terjadinya kekerasan seksual. Fenomena ini bukan semata tindakan individu, melainkan berakar kuat pada faktor sosial budaya yang telah lama mengendap di masyarakat dan terefleksi di lingkungan pendidikan.

Salah satu akar utama adalah ketidaksetaraan gender dan budaya patriarki yang masih kuat. Ini menciptakan hierarki kekuasaan di mana dominasi laki-laki atau individu yang lebih tua/berkuasa dianggap wajar. Pandangan ini seringkali merendahkan perempuan atau individu yang dianggap rentan, dan bahkan membenarkan tindakan agresif sebagai bentuk ‘kejantanan’ atau ‘lelucon’.

Budaya diam dan tabu seputar seksualitas dan kekerasan juga memperparah keadaan. Korban sering merasa malu, takut dihakimi, atau tidak tahu harus melapor ke siapa, sehingga memilih bungkam. Lingkungan sekolah yang tidak mendukung atau bahkan menyalahkan korban semakin memperkuat siklus keheningan ini.

Minimnya edukasi seksualitas yang komprehensif turut berperan. Banyak siswa, bahkan pendidik, tidak memahami konsep persetujuan (consent), batasan pribadi, atau jenis-jenis kekerasan seksual. Akibatnya, perilaku pelecehan seringkali dinormalisasi sebagai candaan atau ‘kenakalan remaja’ yang wajar, tanpa disadari dampaknya yang merusak.

Mengatasi kekerasan seksual di sekolah memerlukan lebih dari sekadar peraturan. Ini menuntut perubahan fundamental dalam cara kita memandang gender, kekuasaan, dan pendidikan. Menciptakan lingkungan yang aman berarti berani mendobrak budaya diam, memperkuat edukasi, dan membangun ekosistem sekolah yang responsif dan berpihak pada korban, bukan pembela pelaku. Hanya dengan begitu, sekolah bisa benar-benar menjadi tempat aman bagi setiap anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *