Racun Digital: Hoaks Media Sosial Merobek Harmoni dan Memicu Kejahatan
Media sosial, yang mulanya diciptakan sebagai jembatan komunikasi, kini menjelma menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks. Informasi palsu ini bukan sekadar berita keliru, melainkan racun digital yang secara sistematis merobek tatanan sosial dan bahkan memicu tindakan kriminalitas.
Kecepatan penyebaran informasi di platform digital, ditambah dengan minimnya literasi digital dan kecenderungan algoritma membentuk "gelembung gema" (echo chamber), menjadikan hoaks sangat mudah viral. Pengguna seringkali tanpa sadar menjadi agen penyebar berita bohong yang dirancang untuk memprovokasi.
Dampaknya sungguh nyata. Hoaks seringkali menarget isu-isu sensitif seperti Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) atau politik. Ini memicu polarisasi ekstrem, kebencian antarkelompok, dan dalam banyak kasus, berujung pada konflik sosial, demonstrasi anarkis, bahkan bentrokan fisik di dunia nyata. Masyarakat yang terpecah belah oleh narasi palsu menjadi rentan terhadap adu domba.
Lebih jauh, hoaks juga dimanfaatkan untuk tujuan kriminal. Penipuan online berkedok investasi fiktif, informasi palsu tentang bencana yang memicu kepanikan massal, hingga hasutan kekerasan yang berujung pada vandalisme atau kejahatan fisik, semua bermula dari sebaran informasi yang tidak benar. Pelaku kejahatan memanfaatkan kerentanan psikologis dan emosi publik yang terpicu oleh hoaks.
Maka, peran media sosial dalam menyebarkan hoaks adalah ancaman nyata bagi stabilitas sosial dan keamanan publik. Literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan verifikasi informasi sebelum berbagi adalah benteng utama kita. Setiap pengguna memiliki tanggung jawab untuk tidak menjadi bagian dari rantai penyebaran racun digital ini, demi menjaga harmoni dan mencegah bahaya yang lebih besar.






