Ketika Kampus Berwajah Politik: Ancaman Terhadap Nalar Merdeka
Kampus, dengan segala idealisme dan kebebasan berpikirnya, seharusnya menjadi menara gading yang menjulang tinggi, tempat nalar kritis diasah dan kebenaran dicari tanpa bias. Namun, seringkali ia tak luput dari tarikan gravitasi politik praktis. Ketika politik masuk terlalu dalam ke dunia kampus dan akademisi, esensi dasar pendidikan dan riset terancam terkikis.
Akademisi dan kampus adalah pilar objektivitas, tempat ilmu pengetahuan berkembang dan gagasan baru lahir. Kebebasan akademik adalah jantungnya, memungkinkan dosen dan mahasiswa untuk meneliti, mengajar, dan berdiskusi tanpa rasa takut akan intervensi atau represi politik. Namun, ketika kepentingan politik mulai mendikte kurikulum, memengaruhi penunjukan rektor atau dosen, atau bahkan mengintervensi hasil riset, independensi itu runtuh. Kampus bukan lagi sarang ilmu, melainkan medan perebutan pengaruh.
Dampaknya fatal: kualitas pendidikan menurun karena objektivitas dikorbankan demi agenda tertentu. Penelitian kehilangan integritasnya, menjadi alat legitimasi, bukan pencarian kebenaran. Mahasiswa, yang seharusnya dididik menjadi pemikir mandiri, bisa terjebak dalam polarisasi atau bahkan dimobilisasi untuk kepentingan partisan. Kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan juga terkikis, karena kampus yang seharusnya netral kini dianggap terafiliasi.
Maka, menjaga kampus dari intervensi politik praktis adalah sebuah keharusan. Ia harus tetap menjadi ruang aman bagi debat intelektual, tempat lahirnya inovasi, dan kawah candradimuka bagi generasi penerus bangsa yang berintegritas dan berpikir merdeka. Tanpa independensi, kampus hanyalah perpanjangan tangan kekuasaan, bukan mercusuar peradaban.








