Bukan Sekadar Tindakan: Menguak Akar Budaya Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual bukan hanya tindakan kejahatan individual, melainkan cerminan dari masalah sosial budaya yang mengakar dalam masyarakat. Fenomena ini dipupuk oleh norma, nilai, dan praktik yang seringkali tak disadari berkontribusi pada lingkungan permisif bagi pelaku dan sulitnya korban untuk bersuara.
1. Ketidaksetaraan Gender dan Sistem Patriarki
Inti dari persoalan ini adalah ketidaksetaraan gender dan sistem patriarki. Sistem ini menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dan perempuan (atau kelompok rentan lainnya) sebagai objek atau subordinat. Pandangan ini merendahkan martabat korban, mengikis hak otonomi tubuh, dan membenarkan tindakan kekerasan sebagai bentuk kontrol atau ekspresi kekuasaan. Ketika superioritas maskulin diyakini secara luas, kekerasan seksual bisa dianggap sebagai perwujudan "kekuatan" atau "hak" yang tidak terbantahkan.
2. Budaya Pemakluman (Rape Culture) dan Victim Blaming
Selain itu, budaya pemakluman atau ‘rape culture’ turut memperparah. Ini termanifestasi dalam bentuk victim blaming (menyalahkan korban), trivialisasi (menganggap enteng), atau bahkan normalisasi kekerasan seksual. Frasa seperti "apa yang dia pakai?", "dia mengundang", atau "itu hanya bercanda" adalah contoh nyata bagaimana masyarakat seringkali memindahkan tanggung jawab dari pelaku kepada korban, menciptakan lingkungan di mana pelaku merasa aman dari konsekuensi dan korban merasa malu serta takut untuk melapor.
3. Norma Gender Kaku dan Kurangnya Edukasi Seksualitas
Norma gender yang kaku juga membatasi pemahaman tentang persetujuan (consent) dan hubungan yang sehat. Laki-laki sering didorong untuk menjadi agresif dan dominan, sementara perempuan diharapkan pasif dan penurut. Kurangnya pendidikan seksualitas yang komprehensif dan berbasis hak asasi manusia di sekolah maupun keluarga menyebabkan individu tidak memahami batasan personal, otonomi tubuh, dan pentingnya komunikasi yang jelas dalam setiap interaksi. Hal ini menciptakan celah bagi eksploitasi dan paksaan, karena konsep "tidak berarti tidak" belum tertanam kuat.
Kesimpulan
Melihat kompleksitasnya, penanggulangan kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Kita perlu secara kolektif membongkar dan mengubah konstruksi sosial budaya yang mendukungnya. Ini berarti menantang patriarki, menolak victim blaming, dan mendorong edukasi yang memberdayakan setiap individu untuk memahami dan menghargai otonomi tubuh orang lain. Hanya dengan perubahan fundamental dalam cara kita memandang gender, kekuasaan, dan hak asasi manusia, kita bisa menciptakan masyarakat yang benar-benar aman dari kekerasan seksual.






